Total Tayangan Halaman

Kamis, 26 Mei 2011

Referat "Demam Chikungunya"


REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

DEMAM CHIKUNGUNYA



 


Disusun oleh :

R i f q i            (0810221074)






KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RS TNI AL Dr. MINTOHARDJO
PERIODE 18 OKTOBER – 25 DESEMBER 2010 
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2010



 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Demam Chikungunya merupakan infeksi virus yang dapat mengenai semua kelompok umur. Seperti kita ketahui, penyakit Chikungunya merupakan penyakit reemerging yaitu penyakit yang keberadaannya sudah ada sejak lama tetapi sekarang muncul kembali. Bahkan sejak tahun 1779 di Batavia (Jakarta), telah dilaporkan penyakit yang memiliki gejala mirip chikungunya yang dikenal dengan nama penyakit knuckle feverknee trouble di Kairo (1779), scarletina rhematica di Calcuta, Madras, dan Gujarat (1824).1, 2
Penyakit chikungunya dilaporkan telah berjangkit di beberapa negara Afrika misalnya Angola, Botswana, Nigeria, Zimbabwe, dan negara lainnya, dan virusnya diisolasi pertama kali pada tahun 1952 di Tanzania.2
Di Indonesia sendiri Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke seluruh daerah baik di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu pada tahun 1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur, sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara dan Irian Jaya.2
Setelah hampir 20 tahun tidak ada kejadian maka mulai tahun 2001 mulai dilaporkan adanya KLB chikungunya lagi di Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat, sedangkan pada tahun 2002 terjadi KLB di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.2
Gambaran infeksi virus CHIK berupa onset klinis yang mendadak, meliputi demam dan seringkali artralgia berat dan artritis pada ekstremitas. Gejala-gejala ini kemudian diikuti dengan gejala-gejala konstitusional seperti ruam (rash) makulopapular pada badan dan tungkai. Gejala-gejala biasanya sembuh dengan sendirinya (self-limiting) dan dapat terjadi dalam 1 sampai 10 hari, meskipun artralgia atau gejala-gejala persendian dapat bertahan selama beberapa bulan setelahnya. Oleh karena manifestasi perdarahan ringan dapat terjadi, khususnya pada kasus-kasus di Asia Tenggara dan Indian benua, salah diagnosis dan salah lapor di daerah endemik DBD sering terjadi.3

1.2 TUJUAN
Tujuan penulisan referat ini adalah terutama untuk memahami lebih dalam mengenai manifestasi, diagnosis klinis, dan penatalaksanaan demam chikungunya yang merupakan re-emerging disease sehingga masih banyaknya kekeliruan dalam mendiagnosis dan, dengan demikian, penatalaksanaan penyakit ini. Di samping itu, dalam penulisan referat ini juga akan dipaparkan angka kejadian infeksi chikungunya di Indonesia dan dunia yang masih menjadi masalah utama.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Secara etimologis, Chikungunya berasal dari kata Kungunyala, sebuah kata dari bahasa Makoude Tanzania yang berarti "yang melengkung", yang tepat menggambarkan seorang pasien yang tampak membungkuk karena artritis berat. Dalam bahasa Swahili, chikungunya artinya terikat, yang dalam hal ini berkaitan dengan kejang urat yang merupakan suatu tanda dari artralgia.4, 5
Berdasarkan istilah, maka demam chikungunya adalah suatu penyakit infeksi virus akut yang ditandai dengan sekumpulan gejala yang mirip dengan gejala infeksi virus dengue, yaitu demam mendadak, artralgia, ruam makulopapular dan leukopenia. Istilah lain untuk demam ini adalah: knokket, koorts, abu rokab, mal de genoux, dengue, dyenga, dan demam tiga hari. Penyakit ini disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), suatu arthropoda borne virus (arbovirus) dari genus Alphaviruses famili Togaviridae, yang pada umumnya disebarluaskan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau  Aedes albopictus.5

2.2 ETIOLOGI
Virus: Virus Chikungunya (CHIK) adalah salah satu spesies dari genus Alphavirus famili Togaviridae. Virus ini pertama kali diisolasi di Tanzania oleh Ross dan kolega pada tahun 1952-1953. Virus chikungunya merupakan partikel berbentuk sferis berdiameter + 42 nm. Virus ini memiliki pembungkus yang mengandung lipid dengan tonjolan halus. Intinya berdiameter + 25-30 nm yang pada potongan melintang berbentuk heksagonal dan mengandung nukleokapsid yang tidak simetris. Bersama-sama dengan alphavirus lainnya, virus ini memiliki genom single strained RNA. Mereka mempunyai koefisien sedimentasi 46 dan mempunyai berat molekul + 4,2 x 106 dalton. Ekstrak fenol dari virus chikungunya memiliki material yang infeksius. Bentuk prekursor virus dalam matriks sitoplasma menjadi lurus dalam daerah membran sel atau berlawanan dengan membrab vakuola. Gabungan dari partikel virus pada permukaan sel menyebabkan proses budding yang melibatkan inti prekursor virus menjadi partikel virus. Membran sel pejamu dimodifikasi selama infeksi dan mengandung antigen virus ketika bergabung ke dalam pembungkus virus.1, 5
Pejamu (host): Virus Chikungunya (CHIKV) diyakini memiliki siklus sylvatic dan  terdapat pada monyet vervet, babon, monyet macaque, lemur dan tikus. Pada manusia, virus ini tidak memiliki pengaruh khusus terhadap usia atau jenis kelamin tetapi tampak bahwa anak-anak, orang tua dan keadaan immunocompromise merupakan yang paling mudah terpengaruh.1
Vektor: Vektor yang paling efektif pada penularan terhadap manusia adalah nyamuk Aedes aegypti. Aedes furcifor-taylori merupakan spesies dominan pada penularan terhadap hewan. Penelitian terhadap penularan virus Chikungunya oleh nyamuk spesies lain menunjukkan bahwa, meskipun Aedes albopictus mudah terinfeksi,  kemampuan penularannya rendah. Namun, pada wabah tahun 2007 di Kerala India, terlihat bahwa Aedes albopictus berperan penting. Hal ini disebabkan oleh mutasi pada genom virus (mutasi A226V pada selubung glikoprotein CHIKV) yang bertanggung jawab atas meningkatnya kemampuan infeksi dari Aedes albopictus.1
Terlepas dari faktor gigitan vektor, penularan secara mekanik juga berperan. Kemungkinan penularan ibu ke anak pada masa perinatal telah diteliti baru-baru ini. Sebuah penelitian dilakukan di pulau-pulau La Reunion terhadap 38 neonatus yang terkena Chikungunya dari ibu (yang dibuktikan dengan uji serologi positif atau PCR reverse transcriptase). Gambaran klinis infeksi terlihat pada semua neonatus ini pada hari ke tiga dan dari tujuh yang hidup menunjukkan bahwa penularan virus dari ibu ke anak pada periode perinatal dapat terjadi.1
Berkaitan dengan adanya wabah Chikungunyadi Indonesia pada tahun 2001-2003, telah dilakukan berbagai penelitian diantaranya dalam hal menemukan spesies penyebab. Di Bogor, upaya pengumpulan terhadap nyamuk dewasa pada siang hari di dalam ruangan telah tertangkap 120 nyamuk, dimana 60% diidentifikasi sebagai Culex quinquefasciatus, 39% A. aegypti, dan 1% A. albopictus. Sedangkan di Kalijaya Bekasi, tertangkap 224 nyamuk dimana 91% diidentifikasi sebagai C. quinquefasciatus, 6% sebagai A. albopictus dan 3% sebagai A. aegypti.3
Namun, vektor nyamuk yang berkaitan dengan dua wabah di Bogor dan Bekasi tersebut masih bersifat spekulatif oleh karena sejauh ini pengumpulan di lapangan dibatasi untuk mendiskriminasi spesies saja. Di Bekasi, pelaksanaan insektisida yang luas (fogging) terhadap nyamuk dewasa yang segera setelah diketahui adanya wabah menyulitkan ketepatan dalam penilaian. Kontribusi relatif A. Aegypti dan A. albopictus tidak diketahui, meskipun dianggap bahwa A. aegypti adalah vektor utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya seluruh wabah Chikungunya di Indonesia. Meskipun nyamuk yang paling banyak terdapat dalam ruangan tertutup adalah C. quinquefasciatus, namun spesies yang terdapat di mana-mana ini bersifat refrakter terhadap infeksi virus CHIK sehingga dengan demikian tidak dianggap sebagai vektor.3

2.3 EPIDEMIOLOGI
Di antara wabah demam chikungunya, virus ini mungkin sempat terlupakan selama beberapa tahun hingga beberapa dekade. Perbedaan kejadian penyakit telah dikaitkan dengan banyak faktor termasuk terjadinya siklus sylvatic, kerentanan manusia, hewan, dan vektor terhadap virus, perubahan dalam kondisi perkembangbiakan dan kepadatan vektor. Globalisasi juga memfasilitasi terjadinya pengenalan virus dari daerah endemik ke daerah-daerah baru.1
Virus chikungunya tersebar pada daerah dunia yang paling berpopuasi. Di Asia, A. Aegypti adalah vektor utama; di Afrika Tenggara spesies lain dapat merupakan vektor penting. Di Asia Tenggara, wabah dengue dan chikungunya terjadi bersamaan.6
Dari September 2001 sampai Maret 2003, 24 kasus dugaan wabah virus CHIK telah dilaporkan di seluruh Indonesia (Gambar 1). Sebagian besar wabah (83%) terjadi di pulau utama Jawa, hampir setengahnya (46%) terjadi di provinsi berpenduduk padat Jawa Tengah. Kejadian wabah CHIK juga dilaporkan dari Aceh (1 episode), Sumatera Utara (1), Sulawesi Utara (1) dan Pulau Lombok (2).Wabah ini terjadi pada perkotaan (21%), semiurban perkotaan (sekitar kota dan desa) (17%) dan masyarakat pedesaan (62%), yang kira-kira mencerminkan distribusi populasi manusia di Jawa. Dugaan epidemi CHIK pertama kali  terjadi di Bireun, Provinsi Aceh, yang terletak di Indonesia barat utara pada bulan September 2001, secara progrsif bergerak ke arah timur Indonesia, dengan penyebaran  terakhir kali terlihat di Pasuruan (Jawa Timur), Klaten (Jawa Tengah), Tangerang dan Bekasi ( Jawa Barat) pada Maret 2003. Tercatat jumlah fokus epidemi CHIK meningkat sejalan dengan waktu, dari hanya dua pada tahun 2001, sampai dengan delapan pada tahun 2002 dan 14 selama tiga bulan pertama 2003. Tujuh puluh lima persen (18/24) dari episode wabah dilaporkan dari bulan November 2002 sampai Maret 2003 (Tabel 1). Jumlah total kasus terkait epidemi yang dilaporkan selama periode ini adalah sebanyak 5.821 (rata-rata 253 pasien per kejadian wabah, rentang 37-1031 kasus/ kejadian).3
Dari 11 episode wabah yang dilakukan pemeriksaan tindak lanjut laboratorium, CHIK dicurigai sebagai etiologi pada seluruh kejadian tersebut. Secara keseluruhan, bukti infeksi CHIK baru dan akut berdasarkan serologi dan / atau RT—PCR, telah didemonstrasikan di 47% (325/696) sampel serum yang telah diuji. Konfirmasi dari sepuluh episode wabah CHIK didasarkan pada adanya antibodi IgM dan/atau RNA virus, ditemukan pada 25% sampai 100% dari sampel yang diuji. CHIK terbukti terlibat pada wabah di Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) dengan adanya antibodi IgG sendiri (Tabel 1).3

Gambar 1. Epidemi Chikungunya di seluruh Indonesia.
Dikutip dari: (3)


Tabel 1. Wabah Chikungunya yang dilaporkan di Indonesia, 2001-2003
 
Dikutip dari: (3)

2.4 PATOGENESIS
Tidak ada studi lengkap mengenai patogenesis demam chikungunya. Setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi, virus bereplikasi di dalam organ-organ limfoid dan mieloid dan kemudian merangsang imunitas seluler dan humoral yang menyebabkan timbulnya manifestasi penyakit ini. Kerusakan akibat peradangan pada tulang rawan dalam bentuk nekrosis, kolagenosis dan fibrosis menyebabkan timbulnya gejala-gejala persendian. Hal ini terbukti melalui penelitian biokimia yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah mukopolisakarida, hidroksiprolin dan prolin di dalam urine penderita chikungunya. Penelitian mengenai pelepasan sitokin pada pasien dengan chikungunya menunjukkan bahwa jumlah protein terinduksi 10, protein kemoatraktan monosit dan IL 8 meningkat sementara jumlah IFN γ, TNF α, IL 1β, 6, 10 dan 12 tercatat normal.1

2.5 GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis sangat bervariasi mulai dari penyakit yang asimptomatik sampai dengan penyakit berat yang dapat melemahkan. Anak-anak berada di antara kelompok yang berisiko maksimal untuk mengalami manifestasi berat tersebut dan beberapa gambaran klinis dalam kelompok ini berbeda dengan apa yang ada pada orang dewasa. Setelah masa inkubasi, rata-rata antara 2 sampai 4 hari (rentang: 2 sampai 12 hari), penyakit mulai bermanifes tanpa gejala prodroma, dengan gambaran khas demam, ruam dan artralgia.1
Infeksi virus chikungunya pada anak dapat terjadi tanpa gejala. Adapun gejala klinis yang sering dijumpai pada anak umumnya berupa demam tinggi mendadak selama 1-6 hari, disertai dengan sakit kepala, fotofobia ringan, mialgia dan artralgia yang melibatkan berbagai sendi, serta dapat pula disertai anoreksia, mual dan muntah.1
Demam biasanya tinggi dan pada anak bisa mencapai lebih dari 104o F. Pada pengamatan yang dilakukan oleh Thiruvengadam et al di Chennai (Madras) selama epidemi tahun 1964, terlihat bahwa mayoritas (62,7%) pasien dengan infeksi chikungunya terbukti ada lonjakan tunggal demam diikuti dengan kembalinya suhu ke dasar dengan cepat (32,5%) atau lambat (30,2%). Kurang dari sepertiga (28,6%) pasien mengalami lonjakan sekunder sesuai dengan pola demam bifasik pada dengue.1
Nyeri sendi (artralgia dan/atau artritis) merupakan gejala yang menonjol dan dapat menjadi persisten (pada sebagian kecil kasus dapat menetap hingga satu tahun). Nyeri sendi bisa berat dan bahkan dapat mengganggu tidur dalam beberapa hari pertama. Hampir 85% pasien dewasa mengalami gejala persendian dan beberapa mungkin mengalami nyeri sendi yang melumpuhkan yang berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Gangguan persendian bersifat poliartikular, lebih sering pada tungkai bawah dan persendian-persendian kecil. Arthralgia dan arthritis jarang terjadi pada anak-anak. Namun jika ada, mungkin cukup berat.1, 5
Menjelang akhir fase demam (3 sampai 5 hari) kebanyakan pasien mengalami ruam makulopapular yang difus dan biasanya pada lengan, punggung dan bahu dan kadang-kadang di seluruh tubuh. Ruam ini biasanya berlangsung 48 jam. Pada saat ini sering terjadi limfadenopati hebat. Demam pada umumnya akan mereda setelah 2 hari, namun keluhan lain, seperti nyeri sendi, sakit kepala dan insomnia, pada sebagian besar kasus akan menetap 5-7 hari.1, 5
Fenomena perdarahan jarang terjadi pada infeksi chikungunya. Pada kasus-kasus Chikungunya terdahulu tidak pernah terpikirkan adanya manifestasi perdarahan. Namun, pada wabah di Calcutta pada tahun 1963-1964, pada sejumlah pasien dewasa terlihat adanya manifestasi perdarahan. Perdarahan berkisar dari perdarahan gusi dan epistaksis hingga hematemesis dan melena. Isolasi virus dan serologi menunjukkan chikungunya menjadi diagnosis pada beberapa kasus ini. Hal ini menunjukkan bahwa chikungunya bisa menyebabkan penyakit hemoragik dan kadang-kadang syok. Dalam upaya untuk menentukan penyebab demam berdarah di Thailand, penelitian epidemiologis telah dilakukan dan didapatkan bahwa insidensi demam berdarah chikungunya pada anak hampir 7,6%, sedangkan demam berdarah akibat dengue hampir 83% dari kasus. Berbeda dengan ini, di Burma tampak Chikungunya tercatat sebagai penyebab dari hampir seperempat kasus demam berdarah pada anak-anak, dengan dengue bertanggung jawab untuk sekitar 16%. Namun, dari kedua penelitian tersebut diamati bahwa manifestasi perdarahan pada Chikungunya kurang berat dibandingkan dengan demam berdarah dan tidak ada anak-anak yang mengalami syok dalam penelitian di Thailand.1, 5
Pada bayi, secara tipikal penyakit dimulai dengan adanya demam yang mendadak, diikuti kulit yang merah. Kejang demam dapat terjadi pada sepertiga pasien. Setelah 3-5 hari demam, timbul ruam makulopapular minimal dan limfadenopati, injeksi konjungtiva, pembengkakan kelopak mata, faringitis dan gejala-gejala serta tanda-tanda dari penyakit traktus respiratorius bagian atas umum terjadi, tidak ada enantema. Beberapa bayi mengalami kurva demam bifasik. Artralgia mungkin sangat hebat, walaupun hal tersebut jarang tampak.5
Neonatus mungkin akan terpengaruh melalui penularan secara vertikal dari ibu yang menderita Chikungunya pada masa perinatal (h-4 sampai h+1). Durasi rata-rata antara onset penyakit pada ibu dan bayi adalah 5 hari. Gejala yang sering adalah demam (79%), ruam (82%) dan edema perifer (58%). Penyakit ini mungkin menjadi menyulitkan oleh adanya kejang, manifestasi perdarahan dan ketidakstabilan hemodinamik. Abnormalitas pada echocardiography (42%) termasuk hipertrofi miokard, disfungsi ventrikel, perikarditis dan dilatasi arteri koroner. Perdarahan intraparenkim otak dan lesi substansia alba juga telah ditemukan pada MRI otak (Gambar 2). Peningkatan kejadian cairan amnion berwarna mekonium (meconium stained amniotic fluid) dan sindrom aspirasi mekonium telah dilaporkan.1
Gambar 2. Encephalopaty pada Neonatus dengan Chikungunya
Dikutip dari: (7)

Manifestasi Neurologis
Alpha virus diketahui menyebabkan ensefalitis yang merusak. Namun demikian, manifestasi neurologis jarang pada Chikungunya. Kejang demam dapat terjadi pada anak-anak dengan Chikungunya.  Anak-anak jarang mengalami kejang fokal dan bahkan juga paralisis transien yang mengikuti kejang. Gambaran neurologis lain yang dilaporkan termasuk perubahan tingkat kesadaran, kebutaan karena neuritis retrobulbar dan acute flaccid paralysis. Tidak ada korelasi spesifik antara temuan neurologis dengan abnormalitas cairan serebrospinal. Pada studi pencitraan dan otopsi, adanya encephalomyeloradiculitis telah diteliti.1

Manifestasi lain
Limfadenopati, injeksi konjungtiva, pembengkakan kelopak mata dan faringitis sering terjadi. Sakit kepala dan mialgia adalah gejala yang sering terjadi. Buang air besar cair (watery stool) dapat terjadi pada bayi.1
Sebuah penelitian yang dilakukan selama wabah Chikungunya di Karnataka baru-baru ini terlihat bahwa manifestasi dermatologi yang paling umum adalah perubahan pigmen (42%) dalam bentuk pigmentasi coklat kehitaman yang mengenai daerah sentrofasial. Selain itu, perubahan pigmen lainnya yang tercatat termasuk bintik seperti makula, pigmentasi seperti batu tulis abu-abu pada pinna, wajah, dan ekstremitas. Gambaran-gambaran tersebut kemudian diikuti dengan sejumlah gambaran lainnya seperti ruam makulopapular seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (33%) dan ulkus seperti intertriginosa aphthous (21,37%). Eksaserbasi dari dermatosis yang sebelumnya sudah ada seperti psoriasis dan penyakit Hansen juga telah diamati. Erupsi Vesiculo-bulosa terlihat hanya pada bayi dan menyebabkan morbiditas yang signifikan (Gambar 3). Pada anak-anak yang terkena Chikungunya di pulau Reunion, epidermolysis bullosa juga telah terlihat. Anak-anak mungkin pada suatu saat mengalami ruam pada hari pertama sakit dan meskipun umumnya pada daerah leher namun bisa juga mengenai wajah. Tidak ada gambaran enanthem.1

Gambar 3. Erupsi Vesikobullosa pada Infeksi Chikungunya pada Bayi
Dikutip dari: (4)

2.6 DIAGNOSIS BANDING
Membedakan Demam Dengue dengan Demam Chikungunya
Pada infeksi chikungunya, demam terjadi pada awal perjalanan penyakit dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan dengan demam berdarah. Banyak gejala konstitusional seperti sakit kepala, faringitis, rhinitis, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut dan limfadenopati terjadi dengan frekuensi yang sama pada kedua penyakit. Ruam makulopapular terminal, injeksi konjungtiva, myalgia dan arthralgia atau arthritis terlihat lebih sering pada Chikungunya. Manifestasi perdarahan serius, hepatomegali dan syok lebih sering terjadi pada demam berdarah. Ciri karakteristik lain dari dengue adalah perubahan dalam persepsi rasa, bradikardia pasca sakit, depresi pasca sakit dan asthenia.1, 5



2.7 DIAGNOSIS
Kriteria Diagnostik untuk Chikungunya1
Kasus suspek: Seorang pasien yang mengalami demam onset akut biasanya dengan menggigil yang berlangsung selama 3 - 5 hari dengan beberapa nyeri sendi/pembengkakan ekstremitas yang dapat berlanjut selama beberapa minggu hingga bulan.
Kasus kemungkinan: Seorang pasien suspek dengan gambaran seperti di atas disertai dengan salah satu dari berikut:
A.    Riwayat berpergian atau tinggal di daerah yang telah dilaporkan merupakan daerah wabah
B.     Malaria, demam berdarah dan penyebab demam dengan nyeri sendi lainnya dapat disingkirkan
Kasus konfirmasi: Seorang pasien dengan satu atau lebih penemuan berikut terlepas dari klinis.
A.    Isolasi virus dalam kultur sel atau inokulasi hewan dari serum fase akut.
B.     Keberadaan virus RNA dalam serum fase akut.
C.     Serokonversi terhadap antibodi spesifik virus pada sampel yang terkumpul minimal dalam 1 - 3 minggu terpisah.
D.    Keberadaan antibodi IgM spesifik virus dalam serum tunggal yang dikumpulkan setelah 5 hari sejak timbulnya penyakit.

Diagnosis Laboratorium
Diagnosis chikungunya saat ini umumnya ditegakkan dari pemeriksaan serologi yang terlihat dari peningkatan antibodi yang signifikan setelah timbulnya penyakit. Sampel serum yang diambil sampai dengan hari ke-5 dari onset demam tidak akan mengandung HI, CF dan neutralizing antibody. Neutralizing dan HI antibodi umumnya terjadi pada sampel yang dikumpulkan 2 minggu atau setelah onset demam. Complement fixing antibody berkembang lebih lambat. Pada individu tanpa infeksi alfavirus sebelumnya, respons antibodi pertama berasal dari IgM. Seperti demam dengue, antibodi IgG memfiksasi komplemen dengan adanya antigen virus, dengan demikian menjelaskan secara relatif gambaran yang lanjut dari antibodi CF. Neutralizing antibody dapat diukur dengan metode pengenceran virus pada tikus yang menyusui (atau tikus yang disapih, dengan menggunakan strain pasasi tikus yang tinggi dari Ross) atau metode pengenceran virus, dengan menggunakan salah satu dari berbagai kultur jaringan atau metode plaque assay.5
Isolasi virus dilakukan dengan inokulasi serum fase akut atau materi intraserebri yang mencurigakan pada tikus usia 1 atau 2 hari kultur jaringan. Pada pasasi awal, kematian dapat terjadi dalam waktu 2-5 hari setelah inokulasi. Sel vero dan tikus yang menyusui sama-sama efektif untuk isolasi primer.5

2.8 PENATALAKSANAAN
Pada umumnya pengobatan bersifat suportif. Tirah baring dianjurkan selama masa demam. Antipiretik atau kompresi digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh di bawah 40oC (104oF). Analgesik atau sedasi ringan mungkin diperlukan untuk mengendalikan nyeri. Karena pengaruhnya pada hemostasis, aspirin (asam salisilat) tidak boleh digunakan. Analgesik dan sedatif ringan mungkin diperlukan untuk mengurangi rasa sakit. Artritis setelah sakit mungkin memerlukan terapi dengan obat anti radang dan fisioterapi.5
Kejang demam dapat diterapi dengan fenobarbital yang diberikan secara intravena atau oral dan diteruskan sampai temperatur normal. Kejang yang berulang atau hebat mungkin menunjukkan respons terhadap diazepam intravena. Penggantian cairan dan elektrolit diperlukan bila ada defisit yang disebabkan oleh keringat, puasa, haus, muntah atau diare.5


2.9 PROGNOSIS
Infeksi virus chikungunya biasanya tidak fatal dan jarang menyebabkan kematian. Jarang dilaporkan secara eksklusif mengenai kejadian kematian, invasi ke susunan saraf pusat dan kasus-kasus perdarahan hebat pada demam chikungunya. Pada beberapa penelitian, kasus-kasus yang pernah didokumentasikan secara virologik menunjukkan adanya isolat virus chikungunya atau bukti serologik dari orang dengan gambaran perdarahan hebat atau pada individu yang meninggal selam penyakit demam akut. Sebagai tambahan, perdarahan, keterlibatan saraf dan miokardium pernah dilaporkan selama infeksi chikungunya pada dewasa.5
Artralgia dapat terjadi selama berminggu-minggu. Aktivitas berat (exercise) mungkin dapat memperpanjang gejala ini. Secara tipikal, rasa sakit bergeser dari sendi dan memburuk pada pagi hari dan berdasarkan pada sendi pertama yang terkena. Pembengkakan di sekitar pergelangan kaki, tangan dan jari, sering terjadi. Pada pasien yang lebih tua gejala sisa mungkin terjadi bersama-sama dengan proses patologik lainnya.5
Hingga saat ini belum banyak hal yang diketahui dari patogenesis infeksi chikungunya, hal tersebut menyebabkan sulitnya memperkirakan frekuensi kematian yang secara langsung disebabkan oleh demam chikungunya. Bayi dengan chikungunya mungkin mengalami defisit neurologis setelah kejang demam.5

2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan cara mengendalikan vektor pembawa virus Chikungunya, yaitu nyamuk dan menghindari gigitannya. Hingga saat ini upaya terbaik yang dapat dilakukan, antara lain dengan membersihkan/ menutup/ membuang tempat-tempat yang berpotensial menjadi genangan air, menguras bak/tempat penampungan air secara berkala, memasang kelambu, menggunakan pakaian dan celana panjang dan mengoleskan repellant pada kulit.5
Mortalitas yang disebabkan infeksi Chikungunya tergolong rendah, mengakibatkan perkembangan vaksin Chikungunya mendapat prioritas yang kurang dalam kesehatan masyarakat.5

BAB III
PENUTUP

3.1 RANGKUMAN
Demam chikungunya adalah suatu penyakit infeksi virus akut yang ditandai dengan sekumpulan gejala yang mirip dengan gejala infeksi virus dengue, yaitu demam mendadak, artralgia, ruam makulopapular dan leukopenia. Demam dan artralgia berat bersifat mendadak kemudian diikuti dengan gejala-gejala konstitusional seperti ruam (rash) makulopapular pada badan dan tungkai. Gejala-gejala biasanya sembuh dengan sendirinya (self-limiting) dan dapat terjadi dalam 1 sampai 10 hari, meskipun artralgia atau gejala-gejala persendian dapat bertahan selama beberapa bulan setelahnya.
Penyakit ini merupakan penyakit reemerging yaitu penyakit yang keberadaannya sudah ada sejak lama tetapi sekarang muncul kembali. Disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), suatu arthropoda borne virus (arbovirus) dari genus Alphaviruses famili Togaviridae, yang pada umumnya disebarluaskan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau  Aedes albopictus.
Pada umumnya pengobatan bersifat suportif berupa tirah baring selama masa demam, pemberian Antipiretik atau kompresi untuk mempertahankan suhu tubuh, analgesik atau sedasi ringan untuk mengendalikan nyeri, fenobarbital untuk mengatasi kejang demam, dan lain-lain.
Infeksi virus chikungunya biasanya tidak fatal dan jarang menyebabkan kematian. Jarang dilaporkan secara eksklusif mengenai kejadian kematian, invasi ke susunan saraf pusat dan kasus-kasus perdarahan hebat pada demam chikungunya.


3.2 SARAN
ü  Oleh karena penyakit Chikungunya merupakan penyakit reemerging yang sudah hampir 20 tahun tidak muncul dan kemudian muncul kembali hingga mewabah, perlu bagi kita untuk mewaspadai kemunculannya dengan mengenali gejala-gejala dan tanda-tandanya.
ü  Perlu bagi kita untuk menggalakkan program PSN dan 3M plus dalam hal untuk pencegahan.


DAFTAR PUSTAKA --> HUBUNGI: RIFQI --> rifqi29ers@gmail.com --> hehe ^_^

1 komentar:

  1. update Daftar Pustaka by Rifqi
    DAFTAR PUSTAKA

    1. Sebastian MR, Lodha R, Kabra SK. Chikungunya Infection in Children. Indian Journal of Pediatrics, Volume 76—February 2009. Diunduh dari: www.springerlink.com pada 22 Oktober 2010
    2. Heriyanto B, Muchlastriningsih E, Susilowati S, dkk. Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia Tahun 2001-2003. Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 37. Diunduh dari: www.kalbe.co.id pada 22 Oktober 2010
    3. Laras K, Sukri N, Larasati R, et al. Tracking The Re-emergence of Epidemic Chikungunya Virus in Indonesia. Transactions of the royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, volume 99—2005. Diunduh dari: www.elsevierhealth.com/journals/trst pada 22 Oktober 2010
    4. Valamparampil JJ, Chirakkarot S, Letha S, et al. Clinical Profile of Chikungunya in Infants. Indian Journal of Pediatrics, Volume 76—February 2009. Diunduh dari: www.springerlink.com pada 22 Oktober 2010
    5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Penyakit Infeksi Tropis. Jakarta: IDAI, 2007.
    6. Behrman, Kliegman Arvin. (editors). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II, Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.
    7. Gerardin P, Barau G, Michault A, et al. Multidisciplinary Prospective Study of Mother-to-Child Chikungunya Virus Infections on the Island of La Reunion. PLoS Medicine Volume 5—March 2008. Diunduh dari: www.plosmedicine.org pada 22 Oktober 2010.

    BalasHapus